Rabu, 27 Mei 2015

Sejarah Masjid Al-Hidayah Modernland


Februari 1993 lalu atau menjelang Ramadan 1413 Hijriyah, Masjid Modernland sudah rampung dibangun Pengembang Modernland. Masjid itu diberi nama Masjid Al Hidayah Modernland dan diresmikan Bupati Tangerang H Tajus Sobirin.

Pada tahun itu pula dibentuk "Pengurus Masjid Al Hidayah Modernland", dengan susunan Ketua Umum A. Hamid Alwie; Seketaris A. Kemal Fauzie, Bendahara Abdul Rahman dan Seksi-lainnya.

Sebagai persiapan untuk menerima serah terima Masjid Al Hidayah Modernland sebagai fasos fasum dari pihak pengembang Modernland, pada tanggal 23 September 1994 pengurus masjid mendirikan Yayasan Nurul Hidayah (YNH).


Yayasan dikukuhkan Akte Notaris Ny. Hamida Abdurachman, SH. No,543 dengan susunan Ketua Umum A. Hamid Alwie, SekretarisDrs. H Yuwono, Bendahara A. Rahman S dan Dewan Pengawas A Kemal Fauzie, Pembina H Tdjus Sobirin dan H Djakaria Mahmud.
Pengurus Masjid adalah penyelenggara kegiatan Sholat Tarawih, Sholat Ied, Pengajian, Penyelenggaraan Pemotongan Hewan Kurban, Penyaluran santunan Zakat Fitrah yang dananya berasal dari ZIS.
Selama September 1994 hingga Juni 1998 Pengurus YNH tidak aktif. Namun seluruh aktivitas masjid masih tetap dilakukan oleh Pengurus Masjid Al Hidayah Modernland (MAH).
Selama Juni 1998 hingga September 1999, berhubung Ketua Umum sakit, kemudian pindah rumah dan sekretaris pindah tugas ke Kalimantan, Tugas prakarsa Abdul Rachman dkk, aktivitas Pengurus Masjid Al Hidayah Modernland dilakukan oleh Pengurus Pengajian dibawah komando H Rasmin Saleh.
Pada tanggal 9 September 1999, para Pendiri YNH mengadakan rapat pesiapan untuk melakukan penggantian Pengurus YNH dan Reorganisasi ditangani secara aktif oleh YNH.
Pada 23 September 2001 para pendiri (sebanyak tujuh orang, karena satu orang telah meninggal) mengadakan rapat mengukuhkan kepengurusan baru. Dengan mengadakan perubahan-perubahan fundamental:
1. Nama Yayasan Nurul Hidayah (YNH) diganti menjadi Yayasan Mesjid Al-Hidayah Modernland (YMAH).
2. Menambah anggota Badan pendiri dari delapan orang menjadi 12 orang.
3. Mengubah beberapa klausula akta lama yang sangat prinsip
4. Menegaskan Susunan Kepengurusan Yayasan Mesjid Al-Hidayah Modernland.
Hasil Keputusan Rapat Badan Pendiri disyahkan oleh Notaris Ny. Hamida Abdurrachman SH pada tanggal 13 November 2001 dengan Akte Nomor 13 November 2001
Sejak adanya Kepengurusan Yayasan Mesjid Al Hidayah Modernland pada September 1999, semua kegiatan YMAH tidak lagi dilakukan oleh Pengurus masjid tapi diselenggarakan oleh Badan Pengurus Harian (BPH) Yayasan Mesjid Al Hidayah Modernland.
Penghimpunan Dana ZIS dilakukan oleh Bendahara YMAH (H. A. Rahman) terutama dana iuran Bulanan Warga Muslim dan dana zakat mal. Dana zakat mal yang terhimpun tidak langsung dihabiskan tapi dibagi untuk kegiatan charity (amal) dan pemberdayaan ekonomi umat (pengusaha mikro) dengan pola dana berputar.
Bidang SosDik (H. Yuwono) menangani Kegiatan penyaluran dan ZIS untuk cahrity (Bantuan kepada Anak Yatim, Mesjid, Duafa, Bencana, Pendidikan, Muallaf, TPA: Ust. Idris).
Bidang LAZ (H. Sunarko) khusus mengelola penyaluran dana Zakat Mal untuk pemberdayaan ekonomi ummat dengan pola dana bergulir dan kebijakan penyelenggaraan khusus.
Bidang ibadah dan da'wah (H. Subagyo) mengelola kegiatan ibadah ritual dan kegiatan da'wah, seperti penyelenggaraan sholat rutin dan Ied, PHBI, Qurban, Pengajian dan lain-lain.
Bidang Usaha (H. A. Sulaiman) mendirikan PT. YAMAH (Dirut: H. A. Sulaiman, SE; Dir. Op: H. Abdullah HS, SH; Preskom: H. A. Kemal Fauzie). YMAH turut sebagai pemegang saham. Hasill usaha PT. YAMAH dapat menunjang pengeluaran rutin mesjid.
Dengan adanya peningkatan jumlah penduduk karena pemukiman baru terus bertambah, makin lama Mesjid Al-Hidayah makin sesak, meluber sampai keluar. Maka pada Tahun 2003 muncul ide untuk memperluas bangunan mesjid.
Rapat-rapat berulang kali diadakan BPH YMAH kemudian membentuk Panitia Renovasi Mesjid (Ketua Umum: H.A. Sulaiman, SE; Ketua Pelaksana : H. Abdullah HS, SH; Tenaga Ahli: Ir. H. A. Sulhan Syadeli; Bendahara: Drs. H. Abdul Rahman).
Akhirnya mulai bulan Maret 2004 mulailah menghimpun dana renovasi mesjid melalui pengumuman Shalat Jum'at dan brosur, walaupun belum ada kepastian kapan persisnya akan dibangun.

Pada awal 2005 PT. Modernland Realty menyatakan akan merelokasi Mesjid Al-Hidayah Modernland.
Pengurus YMAH melakukan uapaya menentang maksud pengembang. Pada Tanggal 23 Maret 2005 Ba'da Subuh (H. A, Kemal Fauzie, SE, MM, Drs. H. Abdul Rahman, H. A. Sulaiman,SE dan Ir. H. Maryoso, MM menghadap Bapak Walikota Tangerang di kediamannya, untuk memohon bantuan agar mesjid tidak direlokasi dan memohon untuk peletakan batu pertama renovasi mesjid.
Walikota secara spontan membantu membatalkan niat pengembang untuk merelokasi Mesjid Al-Hidayah Modernland.

Jum'at Tanggal 8 April 2005 dilakukan peletakan batu pertama Renovasi Mesjid Al-Hidayah Modernland Oleh Walikota Tangerang. (***)

Kurma Dan Hadist

Rasulullah SAW bersabda, “Kurma itu menghilangkan penyakit dan tidak membawa penyakit. Ia berasal dari surga. Dan di dalamnya terkandung obat.”


Rasulullah SAW bersabda, “Rumah yang didalamnya tidak ada kurma, penghuninya adalah orang-orang lapar.” (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW bersabda, “Kurma ajwa yang baik berkhasiat sebagai penyembuh.”
Aisyah berkata, “Rasulullah telah menyebut kurma dan susu sebagai makanan terbaik diantara makanan lainnya.”

Muslim berkata, “Abdullah bin Ghifar melihat Rasulullah mengonsumsi mentimun bersama kurma rutab.”

Sa’ad ra mendengar Rasulullah bersabda, “Barang siapa memakan tujuh butir kurma ajwah di pagi hari, maka racun dan sihir tidak akan membahayakannya pada hari itu.” (HR. Bukhari).

Anas ra berkata, “Rasulullah SAW berbuka sebelum shalat dengan beberapa butir kurma basah (ruthab). Apabila tidak ada kurma basah di tempat beliau, maka beliau berbuka dengan beberapa butir kurma kering (tamr). Dan apabila tidak ada kurma kering, maka beliau menghirup beberapa teguk air.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Salman ibnu Amir Al Dhabbi meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila seorang dari kalian berbuka, maka hendaklah dia berbuka dengan kurma. Sesungguhnya kurma itu berkah. Dan apabila dia tidak mendapatkan kurma, maka hendaklah dia berbuka dengan air. Sesungguhnya air itu suci.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Dalam kitabnya, Zad Al-Ma`ad, Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa kurma dapat menguatkan perut yang dingin, menyamankannya dan menyuburkan badan. Ia termasuk buah yang paling mulia dan paling bermanfaat. Ia adalah raja buah-buahan, penguat lever, dan pelembut tabiat. Ia adalah buah yang paling banyak memberikan nutrisi. Memakannya sebelum makan pagi dapat membunuh cacing. Panas yang dikandungnya adalah penawar racun. Oleh karena itu, apabila ia dimakan secara terus-menerus sebelum makan pagi, maka ia dapat melemahkan cacing dan menguranginya. Ia adalah makanan, obat, minuman, dan manisan sekaligus.

Membatasi ifthar dengan kurma saja memiliki manfaat medis yang besar, yaitu masuknya nutrisi ke dalam perut secara bertahap sampai ia siap menerima makanan setelah itu. Tentang hal ini, Ibnu Qayyim berkata, “Ifthar Nabi SAW ajaran yang sangat bijak. Puasa mengosongkan perut dari makanan, sehingga lever tidak mendapatkan didalamnya sesuatu yang dapat diserap dan disebarkan ke seluruh tubuh. Dan makanan yang manis adalah sesuatu yang paling cepat sampai ke lever dan paling disukainya. Apalagi jika makanan itu adalah kurma, karena ia adalah suci.”

Salamah binti Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah kurma kepada wanita yang akan melahirkan, agar anaknya menjadi murah hati. Itu adalah makanan Maryam saat akan melahirkan Isa. Sekiranya Allah mengetahui ada yang lebih baik dari itu, tentu Dia akan telah memberikannya kepadanya.”

Sulaiman bin Amr Al-Dabbi meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Bila seseorang ingin berbuka puasa, maka sebaiknya ia mengonsumsi kurma. Bila tidak tersedia, maka hendaknya ia meminum sedikit air. Karena ia (air) itu bersih dan murni.”

Keutamaan Azan dan Muadzin

Setiap hari, selama lima kali kaum muslimin mendengar seruan adzan yang berkumandang di masjid-masjid. Adzan ini memberitahukan telah masuknya waktu shalat agar manusia-manusia yang tengah sibuk dengan pekerjaannya istirahat sejenak memenuhi seruan Allah ‘azza wajalla. Demikian pula, yang tengah terlelap tidur menjadi terbangun lantas berwudhu dan mengenakan pakaian terbaiknya untuk menunaikan shalat berjama’ah.

Pengertian Adzan

Adzan secara bahasa bermakna al i’lam yang berarti pengumuman atau pemberitahuan, sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla
  
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُه

“Dan pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada ummat manusia di hari haji akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kaum musyrikin…..” (QS. At Taubah : 3)

Adapun secara syar’i adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan ,lafazh-lafazh yang khusus. (Al Mughni, 2: 53, Kitabush Shalat, Bab Adzan. Dinukil dari Taisirul Allam , 78).

Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, “Para ulama’ menyebutkan 4 hikmah adzan : (1) menampakkan syi’ar Islam, (2) menegakkan kalimat tauhid, (3) pemberitahuan masuknya waktu shalat, (4) seruan untuk melakukan shalat berjama’ah.” (Taudhihul Ahkam, 1: 513)

Keutamaan Adzan

Salah satu tanda sempurnanya syari’at Islam ini adalah memberi dorongan kepada ummatnya untuk melaksanakan ibadah dengan menyebutkan keutamaan ibadah tersebut. Begitu pula adzan, banyak riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan (muadzin).

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثَوَّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَر

”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi …” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1267)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga, ia mengabarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا

”Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan undian niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkannya…” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 980)

Muawiyah radhiallahu ‘anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمؤَذِّنُوْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 850)

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Tidaklah jin dan manusia serta tidak ada sesuatu pun yang mendengar suara lantunan adzan dari seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikan bagi si muadzin pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 609)

Ibnu ’Umar radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلْمْؤَذِّنِ مُنْتَهَى أََذَانِهِ وَيَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ سَمِعَهُ

”Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah atau pun yang kering yang mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.” (HR. Ahmad 2: 136. Syaikh Ahmad Syakir berkata bahwa sanad hadits ini shahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan para imam dan muadzin,

اللَّهُمَّ أَرْشِدِ الْأَئِمّةَ وَاغْفِرْ لِلَمْؤَذِّنِيْنَ

”Ya Allah berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muadzin.” (HR. Abu Dawud no. 517 dan At-Tirmidzi no. 207, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 217)

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، فَأَرْشَدَ اللهُ الْأَئِمّةَ وَعَفَا عَنِ المْؤَذِّنِيْنَ

“Imam adalah penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi. Semoga Allah memberikan kelurusan kepada para imam dan memaafkan paramuadzin.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 239) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, Bab Adzan)

Demikianlah keutamaan-keutamaan yang terdapat pada adzan dan muadzin. Semoga kita termasuk dari golongan orang-orang yang ketika mendengar sebuah hadits, segera mengamalkannya. Wallahu a’lam.

Penulis: Arif Rahman Habib
Artikel www.muslim.or.id

Larangan Meniru Orang Kafir




Lonceng Nasrani, Terompet Yahudi


Dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya yang termasuk shahabiyah anshor, “Nabi memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat’. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai teropet. Nabipun tidak setuju, beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Robbihi pulang dalam kondisi memikirkan agar yang dipikirkan Nabi. Dalam tidurnya, beliau diajari cara beradzan.” (HR. Abu Daud, shahih)


Hadits di atas adalah di antara sekian banyak hadits yang menunjukkan bahwa menyerupai orang kafir adalah terlarang.

Ketika Nabi tidak senang dengan terompet Yahudi yang ditiup dengan mulut dan lonceng Nasrani yang dibunyikan dengan tangan, beliau beralasan karena itu adalah perilaku orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sedangkan alasan yang disebutkan setelah penilaian itu menunjukkan bahwa alasan tersebut adalah illah/motif hukum dari penilaian. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa Nabi melarang semua ciri khas Yahudi dan Nasrani.

Padahal menurut sebagian sumber, terompet Yahudi itu diambil dari ajaran Nabi Musa. Di masa Nabi Musa orang-orang dikumpulkan dengan membunyikan terompet.

Sedangkan lonceng orang-orang Nasrani adalah buatan mereka sendiri dan bukan ajaran Nabi Isa. Bahkan mayoritas ajaran Nasrani itu buatan pendeta-pendeta mereka.

Motif hukum di atas menunjukkan bahwa suara lonceng dan terompet itu tetap terlarang di waktu kapan pun dibunyikan bahkan meski dibunyikan di luar waktu shalat. Dengan pertimbangan bahwa dua jenis suara tersebut merupakan simbol Yahudi dan Nasrani karena orang-orang Nasrani membunyikan lonceng dalam berbagai kesempatan, meski di luar waktu ibadah mereka.

Sedangkan simbol agama ini adalah suara adzan yang mengandung pemberitahuan dengan bacaan-bacaan dzikir. Dengannya pintu-pintu langit terbuka, setan lari terkentut-kentut dan rahmat Allah diturunkan.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Simbol agama Yahudi dan Nasrani ini telah dipakai oleh banyak umat Islam, baik yang menjadi penguasa ataupun yang bukan.

Sampai-sampai kami menyaksikan pada hari Kamis yang hina ini banyak orang membakar dupa dan membunyikan terompet-terompet kecil.

Bahkan ada seorang penguasa muslim yang membunyikan lonceng pada saat sholat lima waktu. Perbuatan inilah yang dilarang oleh Rasulullah.

Ada juga penguasa yang membunyikan terompet di pagi dan sore hari. Menurut persangkaan orang tersebut dalam rangka menyerupai Dzulqornain. Sedangkan pada selain dua waktu tersebut dia wakilkan kepada yang lain.

Inilah tindakan menyerupai orang Yahudi, Nasrani dan orang non Arab yaitu Persia dan Romawi. Ketika perbuatan-perbuatan semacam ini yaitu berbagai perbuatan yang menyelisihi petunjuk Nabi telah dominan dilakukan oleh para penguasa muslim di bagian timur dunia Islam maka oleh memberikan kesempatan kepada orang Turki yang kafir untuk mengalahkan para raja tersebut padahal Nabi menjanjikan bahwa kaum muslimin nanti akan memerangi orang-orang Turki tersebut. Akhirnya orang-orang Turki tersebut melakukan berbagai aksi kekerasan yang belum pernah terjadi di dunia Islam sekalipun.

Inilah bukti kebenaran sabda Nabi, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”

Kaum muslimin di masa Nabi dan masa-masa sesudahnya pada saat peran hanya terdiam dan mengingat Allah.

Qois bin Ibad, salah seorang tabiin senior mengatakan, “Mereka, para shahabat menyukai bersuara lirih pada saat berdzikir, ketika perang dan waktu di dekat jenazah.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih). Riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa dalam sikon-sikon di atas para shahabat bersikap tenang sedangkan hati mereka dipenuhi nama Allah dan keagungan-Nya. Hal ini sama persis dengan keadaan mereka pada saat sholat. Bersuara keras dalam tiga kondisi di atas merupakan kebiasaan ahli kitab dan non arab yang kafir lalu diteladani banyak kaum muslimin.”

Terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa suara lonceng itu terlarang secara mutlak, pada semua waktu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lonceng adalah seruling setan.” (HR. Muslim, dll)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصْحَبُ الْمَلَائِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلَا جَرَسٌ
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Malaikat tidak akan menyertai rombongan yang membawa lonceng/genta atau anjing.” (HR. Muslim)

Ibnu Hajar mengatakan, “Genta terlarang karena suaranya yang menyerupai suara lonceng orang-orang Nasrani di samping menyerupai bentuknya.”

Bagaimana Dengan Suara Alarm Atau yang Lainnya?

Syaikh Al Albani mengatakan, “Pada zaman ini terdapat berbagai suara buatan dengan beragam tujuan. Ada suara alarm jam untuk membangunkan dari tidur, suara dering panggilan telepon, suara bel yang ada di instansi pemerintah atau asrama. Apakah suara-suara buatan tersebut termasuk dalam hadits-hadits larangan di atas dan hadits-hadits lain yang semakna? Jawabanku, tidak termasuk, karena suara-suara buatan tersebut tidak menyerupai suara lonceng baik dari sisi suara ataupun bentuk.

Namun jawaban di atas tidaklah berlaku untuk suara jam besar berpendulum yang digantungkan di dinding. Suara jam tersebut sangat mirip dengan suara lonceng. Oleh karena itu jam jenis tersebut tidak sepatutnya ada di rumah seorang muslim. Lebih-lebih sebagian jam jenis tersebut memiliki suara yang mirip dengan suara musik sebelum berdetak sebagaimana suara lonceng gereja, semisal jam London yang terkenal dengan nama Big Ban yang diperdengarkan melalui radio London.
Sangat disayangkan seribu sayang jam jenis tadi merambah sampai ke dalam masjid disebabkan ketidaktahuan mereka dengan aturan agama mereka sendiri. Sering sekali kami mendengar seorang imam shalat membaca ayat-ayat yang mencela keras kesyirikan dan trinitas sedangkan suara lonceng gereja terdengar jelas di atas kepala mereka, mengajak dan mengingatkan kepada akidah trinitas sedangkan imam shalat dan jamaahnya tidak menyadari hal ini.” (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah hal 167-169)

Tidak kalah disayangkan ada sebuah pesantren besar di negeri kita yang sejak dulu hingga sekarang menggunakan lonceng sebagai belnya. Demikian pula banyak kaum muslimin terutama generasi mudanya yang pada saat akhir tahun masehi atau acara ulang tahun yang terlarang ramai-ramai membunyikan terompet yang dilarang oleh Nabi.

Jika membunyikan terompet karena adanya sebuah kebutuhan yaitu mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat berjamaah (saja terlarang ), maka bagaimanakah juga dalam even yang tidak ada dorongan kebutuhan, bahkan itu adalah dalam rangka memperingati awal tahun masehi.

***
Penulis: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Hukum Shalat Berjamaah


Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin
Seperti pada pemaparan sebelumnya, shalat berjamaah adalah syariat Allah Subhanahu wata’ala dan perkara yang disepakati oleh kaum muslimin. Hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal hukumnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan sisi pandang terhadap dalil – dalil yang ada.
Pendapat pertama menyatakan hukumnya fardhu ‘ain.
Maknanya, wajib bagi setiap individu muslim lelaki yang sudah baligh dan mampu untuk menghadirinya. Barang siapa meninggalkan berjamaah tanpa uzur, sah shalatnya namun ia berdosa. Inilah pendapat yang benar. Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan tentang wajibnya shalat berjamaah.
1. Dalil dari al-Qur’an di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)
Kata “bersama” menunjukkan makna menemani, menyertai. Jadi, ayat ini bermakna “dirikanlah shalat bersama yang lain secara berjamaah!” Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Kebanyakan para ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjamaah.”
2. Dalil lain dari ayat al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ
Dan apabila kamu berada di tengahtengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu. (an-Nisa: 102)
Pada kalimat پ huruf lam di sini menunjukkan perintah, sedangkan asal suatu perintah adalah wajib. Yang menguatkan bahwa perintah dalam hal ini bermakna wajib ialah, Allah Subhanahu wata’ala memerintah para sahabat untuk melaksanakan shalat berjamaah, meskipun dalam kondisi takut (dalam peperangan). Sementara itu, pada umumnya, apabila manusia dalam kondisi takut (perang) dan kekacauan, berat bagi mereka untuk berkumpul. Dalam situasi kacau, umumnya orang lebih suka untuk tetap berada pada posisi masing-masing dalam rangka memantau musuh. Hal ini sebagaimana yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan,
وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ
Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (an- Nisa: 102)
Yang tampak dalam hal ini adalah tidak ada perbedaan antara senjata ringan dan berat, dalam keadaan suci atau najis. Para ulama berpendapat, pada saat seperti ini—karena keadaan darurat—diperbolehkan menyandang senjata meskipun dalam kondisi najis. Selanjutnya, setelah kelompok pertama menyelesaikan shalat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ
Kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) telah sujud (telah menyempurnakan serakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh).” (an-Nisa: 102)
Sujud di sini bermakna mereka telah menyelesaikan shalatnya. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala memerintah (kelompok lain yang belum shalat bersama kelompok pertama) untuk shalat berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.
Perintah ini menunjukkan shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain. Kalau saja hukumnya fardhu kifayah, akan gugurlah kewajiban kelompok yang kedua karena telah ditunaikan oleh kelompok yang pertama.
3. Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadits dari Abu Hurairah zbahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seorang untuk mengimami manusia. Kemudian pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, lalu aku bakar rumahrumah mereka dengan api.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkeinginan namun tidak melakukannya. Hal ini tidak berarti shalat berjamaah bukanlah perkara yang wajib. Kalau bukan suatu yang wajib, tidak tepat untuk dikatakan dengan ungkapan seperti itu. Ungkapan ini akan dianggap sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Adapun yang menghalangi beliau melakukannya (membakar rumah)] dan ilmunya ada di sisi Allah Subhanahu wata’ala adalah tidak ada yang berhak menyiksa manusia dengan api selain Rabb-nya api, yaitu Allah Subhanahu wata’ala.
4. Dalil yang lain dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hadits yang memberitakan adanya seorang laki-laki buta yang meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk tidak ikut shalat berjamaah di masjid.
أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،  إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ  فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ
Beliau bertanya, “Apakah kamu mendengar suara azan?” Ia pun menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Kalau begitu penuhilah (panggilan azan itu).”
Demikian pula hadits yang lain dari Ibnu Abbas  radhiyallahu ‘anhuma,
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Barang siapa mendengar azan kemudian ia tidak mendatanginya, tidak sah shalatnya kecuali karena uzur.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun praktik perbuatan sahabat, seperti riwayat dari Ibnu Mas’ud z beliau berkata, “Sungguh aku telah menyaksikan para sahabat, tidak ada seseorang yang tidak ikut shalat berjamaah selain munafik yang jelas kemunafikannya.”
Hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat perhatian terhadap shalat berjamaah serta berpandangan akan wajibnya dan tidak ingin menyelisihinya. Yang lebih menguatkan hukum shalat berjamaah itu wajib adalah kebaikan dan manfaat yang ada padanya. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Atha’, al-Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Abul Abbas, mazhab Zhahiri, mazhab Hanbali, serta salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan Hanafi.
Pendapat kedua, hukumnya fardhu kifayah.
Yang menguatkan pendapat ini adalah mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki. Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang dinyatakan oleh para ulama yang berpendapat tentang fardhu ain. Hanya saja dalil-dalil tersebut dipalingkan kepada makna fardhu kifayah.
Ketiga, hukumnya sunnah.
Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi. Hujah mereka adalah hadits,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan kelipatan 27 derajat.”
Mereka memahami kalimat “lebih utama” bermakna hanya lebih utama dan bukan wajib. Namun, pendalilan mereka dalam hal ini sangat lemah. Sebab, hadits ini menjelaskan pahala orang yang shalat berjamaah lebih utama dan lebih banyak, bukan menjelaskan hukum shalat (berjamaah). Pun penyebutan kalimat ”lebih utama” tidak meniadakan hukum wajibnya. Kita katakan pula, apakah beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala itu wajib? Jawabannya, pasti wajib. Akan tetapi, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ () تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
 “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat meyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul- Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (ash-Shaf: 10—11)
Maksudnya, yang lebih baik dan lebih utama. Apakah akan dikatakan bahwa beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan berjihad di jalan-Nya hukumnya sunnah (dengan alasan kalimat ”itulah yang lebih baik bagimu”)? Sungguh, tidak seorang pun yang berpendapat demikian. Kita katakan pula, apakah shalat Jumat hukumnya sunnah karena firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)
Pasti tidak seorang pun yang mengatakan bahwa shalat Jumat hukumnya sunnah (berdalil dengan kalimat “hal itu lebih baik bagimu”).
Demikian pula hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan untuk membakar rumahrumah orang yang tidak ikut shalat berjamaah. Mereka beralasan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewujudkan keinginannya sehingga hal itu hanya sebagai peringatan keras, tidak sampai pada kenyataan. Jawabannya bisa dilihat pada pembahasan sebelumnya.
Dengan demikian, berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat, pencermatan dan pemahaman terhadap masalah, disimpulkan bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib. (Syarh al-Bukhari, al-‘Utsaimin, 3/57—58, asy-Syarhul al-Mumti’, 2/369—370, at-Tashil, 2/406—407) Wallahu a’lam.

Sumber : http://asysyariah.com/kajian-utama-hukum-shalat-berjamaah/

Sabtu, 23 Mei 2015

Islam Itu Indah


Segala puji bagi Allah rabb semesta alam. KepadaNyalah seluruh makhluk bertumpu dan mengadu, dari keterserakan asa, dari kelemahan daya, dari ketakmampuan usaha, dan dari kepandiran jiwa serta raga. DariNyalah keharmonisan alam berpadu, sehingga mengulunlah kasih dan sayang dengan penuh syahdu, maka lahirlah kemesraan meski terbingkai dari keragaman yang tak pernah satu.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan sekalian alam, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, nabi penutup risalah, yang karenanya ia diutus untuk menebarkan kasih sayang ke seluruh alam. Maka adalah indah sabda-sabdanya penuh harmoni. Tindak-tanduknya penuh lestari. Perintah-perintahnya sepenuh ketulusan memberi.

Larangan-larangannya sepenuh keikhlasan menyelaksai. Maka sungguh indah. Antara sabda dan lelakunya tak pernah saling menyelisihi. Pun perintah dan larangannya tak pernah ada saling menyalahi. Maka adalah indah Islam agama yang mengajarkan kasih sayang, diturunkan oleh Dzat Yang Mahakasih dan sayang, diwahyukan melalui malaikat yang penuh kasih dan sayang, dan disampaikan untuk disebarkan kepada sekalian alam oleh nabi yang penuh kasih dan sayang. Sungguh indah agama yang dituntunkan oleh Dzat Yang Mahaindah lagi mencintai keindahan.
Karenanya, Islam hadir di tengah-tengah ummat bukan untuk membelenggu. Ia hadir demi memperindah tatanan. Yang rusak, ia perbaiki. Yang salah, ia betulkan. Yang bengkok, ia luruskan. Yang jelek, ia baguskan. Yang bodoh, ia pintarkan. Yang baik, ia ajarkan. Yang merusak, ia larangkan dan seterusnya. Islam hadir demi kasih sayang untuk sekalian alam.

Maka adalah wajar, jika sang pengemban risalah penuh kasih dan sayang kepada ummatnya. Sebab, ia adalah cermin tempat berkaca bagi kebengkokan-kebengkokan perilaku mereka. Sebab, ia adalah pelita yang membimbing bagi kegelapan-kegelapan hati mereka. Sebab, ia adalah penentram yang mengarahkan bagi kegalauan-kegalauan jiwa mereka. Dan sebab ia adalah qudwatun hasanah, sang panutan lagi teladan bagi kehidupan mereka.
Memang indah. Ia yang tersurat sebagai penuntun ummatnya demi kehidupan yang lebih baik, di dunia dan akhirat, benar-benar menjadi contoh yang sempurna dalam setiap sisi kehidupannya. Maka adalah keserasian yang ia ajarkan. Maka adalah kelembutan yang ia tularkan. Maka adalah keadilan yang ia sebarkan. Maka adalah kemuliaan hidup yang ia tawarkan. Maka adalah rahmatan lil alamin yang ia simpulkan, di tengah ummat.

Dan betul-betul indah ternyata ia benar-benar rahmatan lil alamin. Ajaran-ajarannya penuh sejuta hikmah. Wejangan-wejangannya tak pernah meninggalkan bekas lara di dada. Anjuran-anjurannya selalu menyimpul ulang semangat yang membaja. Nasehat-nasehatnya selalu tepat mengenai titik sasarannya, dan tanpa sedikitpun menyinggung amarah si empunya. Keadilan dalam berkata dan kejujuran dalam bersikap itulah pedomannya.
Maka lihatlah manusia-manusia di sekitarnya. Tak pernah ada yang terciderai rasa. Tak ada pula yang pernah tersinggung kata. Semua ia tunaikan hak-haknya. Tak ada pembedaan. Tak juga pengistemewaan. Kecuali pada hal yang sudah digariskan, yaitu ketaqwaan. Maka yang bangsawan tak tersanjungkan di hadapannya. Yang rakyat biasa saja juga tak terpinggirkan di majelisnya. Semua sama. Pun kaya dan miskin, tak ada beda. Masing-masing ia tunaikan hak-haknya, dengan perlakuan yang semesti dan sepantasnya.

Sang Nabi memang penuh kasih sayang kepada semuanya. Tapi, kepada wanita ia lebih lemah lembut daripada yang lainnya sebab ia tahu kunci kelemahannya. Dan tersebab itu ia pun bersabda kepada kita, selaku ummatnya, dalam riwayat Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi, “Wanita itu tercipta dari  tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah atasnya. Jika terlalu keras meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Maka, berhati-hatilah memperlakukannya.”

Karenanya, ia tak pernah membentak kaum hawa. Sebab itu hanya akan mematahkannya saja. Tak pula ia terlalu memanjakannya. Karena ini hanya akan melenakannya semata. Seperti kisah turunnya surat Al-Ahzab ayat 28 dan 29. Ketika istri-istrinya meminta tambahan nafkah, dan berhasil membuat dirinya resah bercampur amarah. Tapi tetap saja tak ada kata-kata amukan yang tertumpah. Tak ada dampratan. Tak pula bentakan.
Atau seperti kisah Fatimah yang datang kepadanya meminta seorang pembantu rumah tangga. Meskipun yang hadir adalah putri kesayangannya, namun tetap saja tak ada pemanjaan yang berlebihan. Tak ia kabulkan keinginannya. Dan tak ia berikan apa yang dimauinya. Justru ia tawarkan apa yang lebih baik dari yang diminta, bahkan lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka ia nasehatkan agar bertasbih, bertahmid, dan bertakbir tiga puluh tiga kali sebelum beranjak tidur sebagai gantinya.

Maka betul-betul indah ketika shahabat-shahabatnya beramai-ramai meniti setiap garis jejaknya. Seperti kisah Al-Faruq, ‘Umar bin Al-Khattab, yang tengah naik mimbar dan mengkritisi perihal tingginya mahar yang diminta kaum hawa. Maka berdirilah seorang dari mereka menyela dengan suara tegasnya. “Apakah engkau hendak membatasi sesuatu yang Allah sendiri pun tak pernah membatasinya dalam kitab suciNya?” begitu ujarnya.
Maka para hadirin terhenyak tak menyangka. Ternyata ada wanita yang sebegitu. Pun juga ‘Umar tak kalah kagetnya. Namun, tetap saja ada kasih sayang harus diberikannya, seperti panutannya yang begitu lemah lembut. Maka tak ada bentakan. Tak juga dampratan. Dan tak pula kata makian dasar wanita pembangkang. Maka adalah ‘Umar menjawabnya dengan penuh kelembutan, “Engkau benar wahai saudariku. Akulah yang salah!”
Subhanallah. Sungguh keluhuran budi yang terbungkus dalam beningnya hati nurani. Maka terlahirlah keharmonisan, terjelmalah kemesraan, dan terpadulah kesetiaan dan pengorbanan. Islam itu memang indah.
Toh begitu tetap ada sisi lain yang harus dicermati. Ada potensi lain yang musti diwaspadai. Agar tak berakhir tragis bak ummat-ummat terdahulu. Seperti kisah bani Israil yang tak sanggup mewaspadainya. Maka dimusnahkanlah tujuh puluh ribu pasukan dari mereka dalam sekejap saja. Maka sang pengemban risalah terakhir pun lekas-lekas mewanti-wanita kita, dengan bahasa kasih sayangnya yang teramat besar kepada ummatnya.
“Adalah dunia ini,” sabda beliau di sela-sela khutbahnya, “Sungguh indah nan mempesona tampak di mata. Dan Allah menyerahkan pemakmurannya kepada kalian; sebab Ia ingin menguji bagaimana amal-amal kalian. Karena itu, berhati-hatilah dari dunia, dan berhati-hatilah terhadap wanita.”
“Sebab,” lanjut beliau dalam riwayat Imam Muslim, “Musibah pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” “Maka,” pungkas beliau dalam riwayat Imam An-Nasa’i, “Tak ada musibah yang lebih berbahaya sepeninggalku melebihi wanita.”
Indah benar. Dua kutub yang saling berjauhan dipadukan dalam satu sulaman. Ia yang diwanti dan diwaspadai ternyata juga begitu disayangi. Maka ia pun tak terkekang hak asasinya. Dan tak jua terumbar kebebasannya. Ia dijaga tapi tetap dihargai. Juga dikaryakan sembari terus diawasi.
Maka lihatlah bentuk konkritnya pada sebarik kisah-kisah mengagumkan. Pada keteladanan agung kehidupan para salaf yang mulia. Pada ketakjuban akhlak tinggi mereka, pada keindahan pribadi yang tersiram dari mata air yang suci, pada kelembutan yang tersinari dari pelita yang menerangi, Sang Nabi yang begitu terpuji. Maka tak ada penelikungan atas nama wanita. Tak ada pengekangan atas hak-haknya sebagai manusia. Tak ada penodaan atas fitrah manusiawinya. Apatah lagi kezaliman pada kesucian dirinya. Ia benar-benar dijaga, tapi tetap dihormati. Betul-betul indah, seindah keagungan akhlak Sang Nabi yang begitu memukau jagad raya. Subhanallah. Lalu kita?
Sungguh, jauh panggang dari api. Ya, kita selaku ummatnya hanya bisa merenungi sambil mengintrospeksi diri: pada tutur kata kita, pada tingkah laku kita, pada kebeningan hati kita, dan pada kepandiran jiwa kita; sudah layakkah kita menjadi ummatnya? Lalu kita selaksai makna yang terkandung di dalamnya; sudah pantaskah kita, yang berikrar ke sana ke mari sebagai yang paling nyunnah, betul-betul menjadi pengikutnya? Setiap kita, saya dan anda, tentu lebih mengetahui apa jawaban pastinya. Sebab, masing-masing kita adalah yang paling tahu siapa diri kita yang sebenarnya.

Maka, marilah kita menyelaksai makna, sambil terus menyelam di lautan ilmu, pada keteladanan agung nan indah itu. Untuk kemudian di sana kita belajar pada pengalaman-pengalaman hidup mereka yang syahdu. Lalu, ianya kita jadikan asas kebermaknaan dalam setiap langkah kita menuju kemuliaan. Setelah itu, langkah-langkah tersebut kita jadikan neraca acuan bagi jejak-jejak kaki kita meniti jalan perubahan.
***
Madinah, 22 April 2015
Penulis : Ust. Abu Hasan Ridho Abdillah, BA., MA.
Artikel Muslim.Or.Id